Selasa, 27 November 2012

FILSAFAT MIMAMSA

A.  PENDAHULUAN
Hindu tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep filsafat yang dikenal sebagai sad darsana atau enam cabang filsafat dimana masing-masing filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan.  Darsana identik dengan “visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling terikat. Filsafat Hindu memiliki karakter khusus yang menonjol yaitu kedalaman dalam pembahasannya, yang mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan dengan sepenuh hati dalam mencari kebenaran.   Semangat pembahasan yang menyeluruh dari konsep yang nampak berbeda lebih dihargai karena memiliki ketelitian dan kesempurnaan yang dicapai kebanyakan aliran pemikiran India. Apabila kita membuka karya lengkap mengenai Vedanta, kita akan menemukan pernyataan dari pandangan seluruh aliran filsafat seperti Carvaka, Bauddha, Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya dan Vaisesika, yang dibicarakan dan dipertimbangkan dengan ketelitian penuh tanpa ada kesan menyalahkan satu dengan yang lain; demikian pula halnya karya agung mengenai filsafat Bauddha atau Jaina, juga membicarakan pandangan filsafat lainnya. Sudah barang tentu kita akan mendapatkan bahwa banyak permasalahan dari filsafat Barat kontemprorer dibicarakan dalam sistem filsafat India. Disamping itu, kita mendapatkan bahwa para sarjana pribumi dengan dasar pendidikan menyeluruh dalam filsafat India, akan mampu menangani berbagai masalah filsafat bahkan permasalahan filsafat Barat yang rumit sekalipun dengan ketrampilan yang mengagumkan.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan oleh pengalaman spiritual mistis dan spiritual. Filsafat ini merupakan hasil kepekaan intuisi yang luar biasa. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian kebenaran.
Adapun bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
  1. Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
  2. Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
  3. Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
  4. Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
  5. Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.
  6. Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atama dengan Brahma dan tentang kelepasan.
Ke-6 bagian-bagian dari Sad Darsana diatas merupakan secara langsung berasal dari kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing bagian dari Sad Darsana itu merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang jalan yang kita lalui berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.

B.  MIMAMSA
Adalah suatu keyakinan biasa pada zaman Veda bahwa ucapan-ucapan Veda, dengan diterima sebagai yang tidak sesat dan bebas dari kekeliruan dalam jalan apapun, merupakan otoritas tertinggi untuk mengatur bagaimana orang menghayati hidup.
1.     Pengertian
Secara etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau penyelidikan[1]. bagian pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa (Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda.
Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa, yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
2.     Sejarah Singkat Tentang Mimamsa
Sebagai tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing ada perbedaan.[2]        
3.     Ajaran Dalam Filsafat Mimamsa
Pokok  pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan kewibawaan  kitab Weda dan pembuktian bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Pada zaman Brahmana sudah dimulai adanya pembicaraan-pembicaraan tentang bermacam-macam hal yang mengenai upacara-upacara keagamaan, dan bahwa hasil dari pembicaraan-pembicaraan itu lalu disusun secara sistematis, yang kemudian menimbulkan kesusateraan yang disebut Kalpa-Sutra.
Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata[3].
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.[4]
Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:
1.      Pengamatan (Pratyaksa)
2.      Penyimpulan (anumata)
3.      Kesaksian        (Sabda)
4.      Perbandingan  (Upamana)
5.      Persangkaan    (Arthapatti)
6.      Ketiadaan        (Anupalabdi)
Empat bagian diatas sama dengan apa yang diterangkan dalam filsafat Nyaya. Bila keempat cara pertama tidak dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan (kebenaran) dari suattu peristiwa, maka akanlah dipakailah cara persangkaan. Walaupun disadari bahwa cara ini perlu dibantu dengan cara lain untuk memperoleh cara yang pasti.
Bila terlihat seseorang dalam keadaan senyum dan mukanya berseri-seri, maka dapat diduga bahwa orang tersebut mendapat sukses dalam usahanya.
Kemudian Ketidak adaan (Anupalabdhi) termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata dan tidak termasuk diantara cara dari Prabhakara. Ketidakadaan ini dapat diterangkan dengan suatu contoh, misalnya: bila seseorang masuk dan mengamati sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada meja di dalam kamar. Dia tidak melihat meja karena memang tidak ada meja di dalam kamar itu. Jadi  orang memiliki pengetahuan dalam hal ini karena ketidakadaan (anupalabdhi) dan ketidakadaan itu memang tidak dapat diamati.
Diantara cara-cara tersebut didepan maka Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (sabda) yang paling penting dan utama. Karna kesaksian adalah pengetahuan yang berasal dari kata-kata atau kalimat-kalimat. Namun sebagai satu sarana pengetahuan yang sah, kesaksian menunjuk hanya pada klaim-klam verbal yang berasal dari sumber yang dapat dipercayai dan dimengerti secara benar.
Dalam hal ini adalah kesaksian kitab weda. Wedalah kebenaran yang tertinggi dan Weda pula sumber pengetahuan yang sempurna. Tidak seperti beberapa sistem yang lain, Mimamsa tidak percaya akan satu pencipta dunia atau satu pengarang ilahi kitab Weda. Sebaliknya, Weda merupakan perwahyuan langsung dan kekal dari realitas itu sendiri.[5]

4.     Weda Dan Dharma
Yang menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula tuntunan kesusilaan. Dalam prakteknya Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan karna dinyatakan bahwa orang yang kotor secara kesusilaan sangat sulit dibersihkan melalui Weda. Kebersihan dalam kesusilaan merupakan  syarat mutlak didalam pelaksanaan upacara. Karna menurut Mimamsa dharma tidak menghasilkan buahnya secara langsung, melainkan  dengan pelantaraan, artinya : sekalipun orang melaksnakan segala upacara keagamaan dengan betul dan berdasarkan kemurnian kesusilaa, ia tidak langsung memeetik buahnya perbuatan itu. Hal ini terlebih-lebh berlaku bagi apa yang dianggap sebagai hasil tertinggi segala korban , yaitu sorga. Hasil ini baru akan dicapai setelah orang meninggal dunia.
Menurut Weda, dharma meliputi  dua macam tindakan yaitu tindakkan yang diwajibkan, baik berlaku pada umumnya, maupun yang berhubungan dengan upacara-upacara berkala, dan tindakkan yang tidak diwajibkan, yang fakultatip.
Mula-mula Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah mencapai sorga, akan tetapi kemudian Mimamsa menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Arti sistim Mimamsa ialah bahwa sistim ini menyusun aturan-aturan untuk menjelaskan Weda. Hal ini memang perlu sekali[6].
  
5.     Tentang Alam
Berbicara mengenai alam semesta Mimamsa mengatakan bahwa alam ini real dan kekal serta terjadi atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi, kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu:
a.       Bumi                                       f. Akal
b.      Air                                           g. Pribadi
c.       Api                                          h. Ruang
d.      Hawa                                       i. Waktu
e.       Akasa
Sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan (tamasa) dan suara (sabda).[7]
Substansi, kualitas dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Dan substansi-substansi ini bukan terdiri dari atom-atom yang tidak dapat diamati. Hal itu disebabkan karena kitab Weda tidak menyatakan hal demikian itu. Bagian-bagian substansi dapat dapat diamati juga, seperti debu yang tampak di dalam sinar matahari.

C.  DAFTAR PUSTAKA
1.    Adiputra, I Gede Rudia, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma sarathi, Jakarta: 1990
2.    Ali, Matius. Filsafat India. Sanggar Luxor, ____, 2010
3.    Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat India, Gunung Mulia. Jakarta: 1985
4.    Koller, John M. Filsafat Asia, Ledalore, Flores: 2010


[1] Ali, Matius. Filsafat india, hal. 89
[2] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 36
[3] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat India. hal. 77
[4] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 152

[5] John M. Koller. Filsafat Asia. hal. 155
[6] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat India. hal. 80
[7] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa Darsana. hal. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar